Cerpen: Ketika Melihat Awan



Oleh: Sisma Dwi

“Iya ma, aku baik-baik saja.” kemudian diam seperti sedang membiarkan orang di seberang sana berbicara.
            ”Aku masih di Jakarta, ma.” diam lagi.
            ”Iya nanti aku kabari lagi. Dah...” langsung mematikan telepon genggamnya.
            Meta melihat ke langit, menatap awan. Meta sedang di perjalanan menuju kota Ponorogo untuk mengunjungi neneknya. Padahal baru seminggu yang lalu nenek Meta kembali ke Ponorogo dari rumah Meta di Bogor.
            Selama perjalanan Meta melihat ke langit, menatap awan. Meta sedang berkhayal atau mungkin berharap, bahkan memohon kalau jodohnya pun sedang melihat awan yang sama pada saat yang bersamaan. Pemikiran yang bodoh, pikir Meta.

            ”Meta, sudah satu tahun mama dan papa memberikan kamu kesempatan untuk berpikir. Jadi, sekarang apa keputusan kamu?” tanya mama suatu hari di ruang keluarga.
            ”Papa tetap ingin supaya Meta menjadi guru, seperti papa. Papa ada teman yang bisa menjamin kamu bisa masuk sekolah keguruan negeri.” kata papa.
            ”Tapi mama ingin Meta kuliah jurusan ekonomi. Nantinya kamu bisa kerja di bank, bisa jadi direktur bank seperti mama. Gaji karyawan bank itu besar,.”
            ”Mama punya banyak teman di bank-bank besar, supaya jalan karir kamu lancar.”
            Papa merengut kemudian menatap Meta, mama juga. Menunggu jawaban Meta. Meta yang sedang bersandar di sofa menghela nafas sejenak. Lalu menjawab,
            ”Aku ingin kuliah kedokteran.” jawabnya singkat sambil tersenyum. Papa dan mama saling menatap bingung. Sekolah jurusan kedokteran tidak ada dalam pilihan yang disampaikan papa dan mama.

Satu tahun yang lalu...
            Meta sedang berdiri di sisi lorong sekolah bersama teman-temannya ketika ia melihat sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berjalan ke sisi lorong yang tidak begitu jauh dari tempat Meta berdiri. Sepasang lelaki dan perempuan itu adalah Erik dan Wisda.
            Erik adalah mantan pacar Meta. Erik dan Meta putus karena Erik ternyata berpacaran lagi dengan Wisda.
            ”Katanya sih, Erik dan Wisda sudah diterima di Akademi Keperawatan.” kata salahsatu teman Meta. Meta sontak menatap temannya itu.
            ”Kamu mau lanjut kuliah kemana, ta?” tanya teman Meta yang lain.
            ”Aku belum tahu.” jawab Meta.
            Meta akhirnya memutuskan menunda kuliah selama satu tahun. Papa dan Mama pun menyetujuinya. Mereka menegaskan hanya satu tahun.
            Meta sendiri tidak tahu ingin jadi apa dia kelak. Ketika masih berpacaran dengan Erik, Meta hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Erik setuju. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Meta tidak lagi pacaran dengan Erik. Meta berpikir mungkin dia ingin jadi perawat juga. Supaya kelak dia bisa bekerja bersama Erik. Atau mungkin malah jadi dokter. Supaya kelak dia bisa bekerja bersama Erik juga.
            ”Kedokteran bagus tuh, ta. Dokter kan diikutin perawat.” ucap Kiki, sahabat Meta.
            ”Jadi, nanti si Erik yang ngikutin lu.” Kiki menambahkan.
            ”Bingung, kenapa ya gw pengen kuliah yang ada hubungannya sama Erik? Gw masih suka kali ya sama dia.” ucap Meta.
            ”Yang gue liat sih lu pengen jadi yang lebih baik dari dia.” jawab Kiki.
            ”Ngga tahu deh gue.” jawab Meta.

            Meta sampai di terminal Ponorogo di hari berikutnya. Ia menyampirkan tas punggungnya di sebelah bahunya dan mengikuti penumpang lainnya turun dari bus tersebut. Meta langsung melihat ke sekeliling begitu keluar dari bus sambil menyampirkan tas punggungnya ke bahunya yang sebelah lagi.
Beberapa calo angkutan umum mengerubutinya, menanyakan ia hendak kemana. Meta hanya menggelengkan kepala sambil berjalan ke arah warung-warung di area terminal tersebut, namun para calo terus mengikutinya. Mereka berhenti mengikuti Meta ketika Meta memasuki sebuah warung kopi.
            Meta duduk di sisi dekat pintu masuk sehingga ia bisa leluasa melihat ke luar.
            ”Mau makan apa, ndok?” tanya mbok pemilik warung.
            ”Minum saja, mbok. Teh manis hangat.”
            Meta melihat ke luar lagi, ke langit. Langitnya biru dan awan putih yang cemerlang. Jodohku sedang lihat awan itu juga tidak ya? Pikir Meta. Lamunannya terhenti ketika seseorang menegurnya.
            ”Permisi, mbak. Boleh geser?” tegur seorang lelaki.
            ”Oh iya, silakan.” Meta pun bergeser sedikit menjauhi pintu, sehingga lelaki itu duduk tepat sebelah Meta.
            Lelaki itu kira-kira sebaya dengan Meta. Dia membawa tas punggung besar yang diletakkan di bawah meja. Dari logat bicaranya Meta berpikir pasti dia juga berasal dari luar kota seperti Meta. Lelaki itu memesan kopi. Dan kemudian Meta melihat lelaki itu melihat ke arah langit.
            ”Itu awan kumulus.” ucap Meta tersenyum sambil melihat ke arah langit. Lalu melihat ke lelaki itu. Lelaki itu juga tersenyum.
            ”Anak geografi?” tanya lelaki itu kemudian.
            Meta menggeleng. Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya.
            ”Dari kota mana?” tanya Meta.
            ”Saya dari Jakarta. Kamu?”
            ”Saya dari Bogor. Liburan?”
            ”Bisa dibilang begitu. Saya hanya mau menjemput teman, sebetulnya.”
            ”Hanya jemput tapi bawaannya banyak.” ucap Meta sambil melirik ke tas lelaki itu di bawah Meja. Lelaki itu sedikit tertawa.
            ”Iya kan jemput temannya sebentar, liburannya beberapa hari. Liburan?” lelaki itu balik bertanya kepada Meta.
            ”Bisa dibilang begitu. Saya mau mengunjungi nenek sebelum mulai masuk kuliah.”
            ”Kuliah dimana, mbak?”
            ”Belum tahu. Saya kesini mau menetralkan pikiran dari orang-orang yang mempengaruhi saya di Bogor yang menyuruh saya kuliah di sana di sini, jurusan ini jurusan itu.”
            ”Ooh baru mau masuk kuliah...” ucap lelaki itu. Meta mengangguk.
            ”Masuk jurusan geografi saja. Sepertinya kamu baik di jurusan itu. Buktinya tahu kalau itu awan... apa itu tadi namanya?”
            ”Kumulus.”
            ”Iya itu.”
            ”Aku hanya tahu bentuk awan seperti itu namanya kumulus. Kalau dia berubah lagi aku tidak tahu namanya apa.”
            Lelaki itu tersenyum sambil menyeruput kopinya.
            ”Dani,” ucap lelaki itu sambil mengangkat tangannya ke arah Meta.
            ”Dari tadi kita ngobrol tapi belum berkenalan.” ucap Dani sambil tersenyum.
            ”Meta.” terhenyak dan langsung buru-buru menjabat tangan Dani dan langsung dilepaskan lagi.
            ”Baru lulus SMA ya berarti.”
            ”Lulus setahun yang lalu. Banyak pertimbangan, jadi nganggur dulu setahun.” ucap Meta sambil memegangi gelasnya yang terasa hangat.
            ”Tertariknya ke bidang apa?” tanya Dani.
            ”Mmmm... kesehatan... mungkin...”
            ”Kesehatan? Mungkin?” ucap Dani sedikit heran.
            ”Seperti tidak yakin begitu.” tambah Dani.
            Meta menyeruput tehnya. Kemudian menengok ke arah Dani dan mengangkat bahunya.
            ”Memang kamu ingin jadi apa, ta?”
            ”Dokter, atau mungkin perawat, atau apoteker, atau analis kesehatan, administrasi rumah sakit. Bankir mungkin.” ucap Meta sambil menggeleng.
            ”Lah, yang terakhir beda.”
            ”Mama aku bankir. Mama ingin aku seperti dia. Papaku dosen. Papa juga ingin aku seperti dia.”
            ”Memang cita-cita kamu waktu kecil ingin jadi apa?” tanya Dani.
            ”Pramugari, kalau tidak salah.” jawab Meta tidak yakin. Dani mengangguk.
            ”Aku juga waktu lulus SMA tidak yakin mau jadi apa. Tapi aku punya ketertarikan di bidang humas. Selama sekolah aku dipercaya teman dan guruku untuk jadi seksi humas di setiap kepanitiaan.”
            ”Oh...” Meta memperhatikan.
            ”Jadi, aku ingin bekerja yang berhubungan langsung dengan masyarakat dari berbagai kalangan. Kalangan bawah, menengah, dan atas. Berbicara dengan mereka dan bekerjasama dengan mereka. Menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat.”
            Dani kembali menoleh ke langit. Meta masih menatap Dani dan berpikir mungkin Dani kuliah jurusan public relation, komunikasi, atau politik. Apapun itu Dani punya cita-cita yang berasal dari dirinya sendiri. Kemudian Meta ikut melihat ke langit. Awannya sudah berubah bentuk tapi masih berbentuk kumulus.
            ”Dan sekarang aku sekolah sesuai dengan cita-citaku waktu aku masih kecil. Kalau dipikir-pikir ada hubungannya juga dengan humas” ucap Dani sambil tersenyum dan matanya masih terkunci pada langit berawan itu. Meta mengerutkan kening dan melihat ke Dani. Bertanya-tanya maksud dari ucapan Dani.
            ”Lucu deh. Aku sampai sekarang berkhayal kalau mungkin jodoh aku yang entah ada dimana sedang melihat awan yang sama denganku sekarang.” ucap Dani lagi tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari awan itu.
            Meta terhenyak. Mengapa Dani punya khayalan yang sama denganku? Pikir Meta. Dan saat ini, detik ini, bahkan sejak beberapa menit lalu, tanpa diketahui Dani, mereka sedang melihat awan yang sama.

           
           

           

Komentar

Postingan Populer